Saturday, April 18, 2009

Istihadhah

Istihadhah


I. Pengertian
Keluarnya darah dari kemaluan wanita diluar haid dan nifas atau karena sakit.

II. Tiga kondisi istihadhah
1. Mumayyizah
Seorang wanita mengetahui dengan pasti lama haidnya sehingga bila keluarnya darah itu melebihi masa haid yang normal jadi darah itu adalah darah istihadhah.
Dasarnya adalah hadis berikut ini :
Dari Ummi Salamah r.a beliau meminta kepada Nabi saw. tentang seorang wanita yang mengeluarkan darah, beliau bersabda: Lihatlah kebiasaan jumlah hari-hari haidnya dan dikaitkan dengan bulannya selama masa yang biasanya haid dia harus meninggalkan salat, bila telah lewat dari kebiasannya hendaknya ia mandi kemudian menyumbatnya dan salat (HR Khamsah kecuali Tirmizi)
2. Kondisi kedua
Seorang wanita yangtidak punya kepastian tentang lama masa haidnya, dan juga tidak bisa membedakan antara darah haid dan bukan darah haid. Dalam kondisi ini acuannya adalah enam atau tujuh hari sebagaimana umumnya kebiasannya para wanita ketika mendapatkan haid.
Dari Jannah binti Jahsy berkata : `Aku mendapat haid yang sangat banyak, kudatangi Rasulullah unuk meminta fatwa dan kudapati beliau dirumah saudaraku Zainab binti Jahsy, aku bertanya: Ya Rasulullah, Aku mendapat darah haid yang amat banyak, apa pendapatmu ? sedangkan engkau telah melarang unuk salat dan puasa. Beliau menjawab:Sumbatlah dengan kain karena akan menghilangkan darah, aku berkata :tapi darahnya banyak sekali...Yang demikian hanya satu gangguan dari syaitan: Oleh karena ituhendaklah engkau berhaid enam atau tujuh hari kemudian engkau mandi. Maka apa bila engkau sudah bersih, salatlah 24 atau 23 hari, dan puasalah dan sembahyanglah (sunnat), karen yang demikian itu cukup buatmu; dan buatlah demikian tiap-tiap bulan sebagaimana perempuan-perempuan berhaid, tetapi jika engkau kuat buat menta`khirkan dhuhur dan mentaqdimkan `ashar kemudian engkau mendi ketika engkau bersih (sementara) lalu engkau jamak sembahyang dhuhur dan `ashar kemudian engkau ta`khirkan maghrib dan dan taqdimkan isya`, kemudian engkau mandi , kemudian engkau jama`kan dua sembahyang itu (kalau kuat) buatlah (begitu); dan engkau mandi beserta shubuh dan engkau salat. Sabdanya lagi: Dan yang demikian perkara yang lebih aku sukai dari yang lainnya.(HR.Khamsah kecuali Nasa`i)
3. Kondisi ketiga
Seorang wanita yang tidak tahu kebiasaannya namun mampu membedakan mana darah haid dan mana darah istihadhah. Maka baginya cukup dengan melihat darah itu, bila darahnya adalah darah haid maka dia sedang haid bila darahnya bukan darah haid maka dia sedang istihadhah.
Dari Fatimah binti Abi Hubaisy bahwa dia mengalami istihadhah, maka Rasulullah saw, bersabda kepadanya kalau darah haid warnanya hitam dan mudah dikenali maka janganlah kau salat. Tapi kalau beda warnanya maka wudhu`lah dan salatlah karena itu adalah penyakit.

III. Hukum Wanita yang Istihadhah
1. Tidak wajib mandi bila ingin salat kecuali hanya sekali saja yaitu ketika selesai haid. Ini disepakati oleh jumhur ulama salaf (masa lalu) dan khalaf (masa kemudian).
2. Dia harus berwudhu setiap mau salat, sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam riwayat Bukhari, "Kemudian berwudhulah setiap akan salat. Namun Imam Malik tidak mewajibkan wudhu setiap mau salat, beliau hanya menyunahkan saja.
3. Mencuci dan membersihkan kemaluannya sebelum berwudhu dan menyumbatnya dengan kain atau kapas agar tidak menjadi najis. Paling tidak sebagai upaya mengurangi najis.
4. Tidak berwudhu kecuali setelah masuknya waktu salat, menurut pendapat jumhur. Sebab wudhunya itu bersifat darurat maka tidak sah jika belum sampai kepada kebutuhannya.
5. Suaminya boleh menyetubuhinya meski darah mengalir keluar. ini adalah pendapat jumur ulama, sebab tidak ada satupun dalil yang mengharamkannya. Ibn Abbas berkata: "Kalau salat saja boleh, apa lagi bersetubuh". Selain itu ada riwayat bahwa Ikrimah binti Himnah disetubuhi suaminya dalam kondisi istihadhah.
6. Tetap wajib melakukan semua kewajiban orang yang suci dari haid seperti salat, puasa dan boleh beri`tikaf, membaca Qur`an menyentuh mushaf, berdiam di masjid, tawaf, dan menjalankan semua ibadah. Itu merupakan kesepakatan seluruh ulama. ?




diambil dari
FIQIH ISLAM (Kitab Thaharah) Oleh H. Ahmad Sarwat, Lc

Friday, April 17, 2009

Nifas

Nifas

I. Pengertian nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita karena melahirkan. Para ulama bahkan mengelompokkan darah yang keluar karena keguguran termasuk nifas juga. Jadi bila seorang wanita melahirkan bayi yang meninggal di dalam kandungan dan setelah itu keluar darah, maka darah itu termasuk darah nifas.

II. Lama Nifas
Umumnya para ulama mengatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk sebuah nifas bagi seorang wanita aling cepat adalah hanya sekejap atau hanya sekali keluar. bila seorang wanita melahirkan dan darah berhenti begitu bayi lahir maka selesailah nifasnya. dan dia langsung serta puasa sebagaimana biasanya.
Menurut as-Syafi`iyah biasanya nifas itu empat puluh hari, sedangkan menurut al Malikiyah dan juga as Syafi`iyah paling lama nifas itu adalah enam puluh hari. menurut al Hanafiyah an al Hanabilah paling lama empat puluh hari. bila lebih dari empatpuluh hari maka darah istihadhah.
Dalilnya adalah hadis berikut ini :
"Dari Ummu Slamah r.a berkata: para wanita yang mendapat nifas, dimasa Rasulullah duduk selama empat puluh hari empat puluh malam (HR. Khamsah kecuali Nasa`i).
At-Tirmizi berkata setelah menjelaskan hadis ini : bahwa para ahli ilmu dikalangan sahabat Nabi, para tabi`in dan orang-orang yang sesudahnya sepakat bahwa wanita yang mendapat nifas harus meninggalkan salat selama empat puluh hari kecuali darahnya itu berhenti sebelum empat puluh hari. bila demikian ia harus mandi dan salat. namun bila selama empat puluhhari darah masih tetap keluar kebanyakan ahli ilmu berkata bahwa dia tidak boleh meninggalkan salatnya.
III. Hal-hal yang dilarang dilakukan wanita yang sedang nifas
Wanita yang sedang nifas sama denganhal-hal yang diharamkan oleh wanita yang sedang haidh, yaitu :
1. Salat
Seorang wanita yang sedang mendapatkan Nifas diharamkan untuk melakukan salat. Begitu juga mengqada` salat. Sebab seorang wanita yang sedang mendapat nifas telah gugur kewajibannya untuk melakukan salat. Dalilnya adalah hadis berikut ini :
`Dari Aisyah r.a berkata : `Dizaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat nifas, lalu kami diperintahkan untuk mengqada` puasa dan tidak diperintah untuk mengqada` salat (HR. Jama`ah).
Selain itu juga ada hadis lainnya:
`Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu mendapatkan nifas maka tinggalkan salat`
2. Berwudu` atau mandi janabah
As-Syafi`iyah dan al-Hanabilah mengatakan bahwa: `wanita yang sedang mendapatkan haid diharamkan berwudu`dan mandi janabah. Adapun sekedar mandi biasa yang tujuannya membersihkan badan, tentu saja tidak terlarang. Yang terlarang disini adalah mandi janabah dengan niat mensucikan diri dan mengangkat hadats besar, padahal dia tahu dirinya masih mengalami nifas atau haidh.
3. Puasa
Wanita yang sedang mendapatkan nifas dilarang menjalankan puasa dan untuk itu ia diwajibkannya untuk menggantikannya dihari yang lain.
4.Tawaf
Seorang wanita yang sedang mendapatkan nifas dilarang melakukan tawaf. Sedangkan semua praktek ibadah haji tetap boleh dilakukan. Sebab tawaf itu mensyaratkan seseorang suci dari hadas besar.
Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji kecuali bertawaf disekeliling ka`bah hingga kamu suci (HR. Mutafaq `Alaih)
5. Menyentuh Mushaf dan Membawanya
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang menyentuh Al-Quran :
Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.` . (QS. Al-Waqi’ah ayat 79)
Jumhur Ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang nifas dilarang menyentuh mushaf Al-Quran
6. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran
Kecuali dalam hati, doa atau zikir yang lafaznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung.
Janganlah orang yang sedang junub atau haidh membaca sesuatu dari Al-Quran. (HR. Abu Daud dan Tirmizy)
Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita nifas membaca Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya bila masa nifasnya terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik. Hujjah mereka adalah karena hadits di atas dianggap dhaif oleh mereka .
7. Masuk ke Masjid
Dari Aisyah RA. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh`. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah.)
8. Bersetubuh
Wanita yang sedang mendapat nifas haram bersetubuh dengan suaminya. Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:
`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Al-Baqarah : 222)
Yang dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya.
Sedangkan al-Hanabilah membolehkan mencumbu wanita yang sedang nifas pada bagian tubuh selain antara pusar dan lutut atau selama tidak terjadi persetubuhan. Hal itu didasari oleh sabda Rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau menjawab:
`Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan (HR. Jama`ah).
Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang nifas ini tetap belangsung sampai wanita tersebut selesai dari nifas dan selesai mandinya. Tidak cukup hanya selesai nifas saja tetapi juga mandinya. Sebab didalam al Baqarah ayat 222 itu Allah menyebutkan bahwa wanita haid itu haram disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi suci itu bukan sekedar berhentinya darah namun harus dengan mandi janabah, itu adalah pendapat al Malikiyah dan as Syafi`iyah serta al Hanafiyah.

IV. Kasus
Bila seorang wanita mendapat darah tiga hari sebelum kelahiran, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar pada saat melahirkan. maka darah yang kelauar sebelumnya bukanlah darah nifas, tetapi darah fasad.
Bila seorang wanita telah selesai nifas dan mandi tiba-tiba darah keluar lagi setelah empat puluh hari,
Ada ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batas maksimal untuk nifas, sehingga bila keluar lagi setelah berhenti sebelumnya maka itu termasuk nifas juga bukan darah istihadhah karena itu dia tetap tidak boleh salat dan berpuasa. Namun para fuqaha yang lain mengatakan bahwa: masa nifas itu hanyalah empat puluh hari atau enam puluh hari (Syafi`i). sehingga bila keluar lagi darah setelah itu tidak bisa disebut darah nifas. Dan itu adalah darah istihadhah. ?


diambil dari
FIQIH ISLAM (Kitab Thaharah) Oleh H. Ahmad Sarwat, Lc

Thursday, April 16, 2009

Haidh

Haidh

I. Darah Wanita
Darah yang keluar dari kemaluan wanita ada tiga macam:
1. Darah haid, yaitu darah ya g keluar dalam keadaan sehat
2. Darah istihadhah, yaitu darah yang keluar dalam keadan sakit
3. Darah nifas, yaitu darah yang keluar bersama anak bayi Sedangkan untuk masa yang paling lama dari masa suci para ulama sepakat mengatakan tidak ada.
Masing-masing mempunyai hukum tersendiri

II. Pengertian Haidh.
Secara bahasa haid itu artinya mengalir. Dan makna (??? ??????) haadhal wadhi adalah bila air mengalir pada suatu wadi.
Secara syariah haid adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita atau tepatnya dari dalam rahim wanita bukan karena kelahiran atau karena sakit selama waktu masa tertentu. Biasanya berwarna hitam, panas, dan beraroma tidak sedap.
Di dalam Al-Quran Al-Kariem dijelaskan tentang masalah haid ini dan bagaimana menyikapinya.
`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Al-Baqarah : 222)
Demikian juga didalam hadis Bukhari dan Muslim.
Dari Aisyah r.a berkata ; `Bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang haid, `Haid adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah kepada anak-anak wanita Nabi Adam (HR. Bukhari Muslim)

III. Pada Usia Berapakah Mulai dan Berakhirnya Haid.
Haid itu dimulai pada masa balighnya seorang wanita kira-kira usia 9 tahun menurut hitungan tahun hijriyah. Atau secara hitungan hari 354 hari.
Dan haid itu akan berakhir hingga memasuki sinnul ya`si. Maka bila ada darah keluar sebelum masa rentang waktu ini bukanlah darah haid tetapi darah penyakit.
Para ulama berbeda pendapat tentang sinnul ya`si. Abu Hanifah mengatakan : bahwa sinnul ya`si itu usia 50 tahun. Sedangkan Al-Malikiah mengatakan 70 tahun. As-Syafi`iyah mengatakan tidak ada akhir sehingga selama hidup masih berlangsung bagi seorang wanita tetaplah dianggap haid bila keluar darah. Dan Al-Hanabilah mengatakan 50 tahun dengan dalil :
`Bila wanita mencapai usia 50 keluarlah dia dari usia haid (HR. Ahmad).

IV. Lama Haid Bagi Seorang Wanita
Al Hanafiyah mengatakan bahwa paling cepat haid itu terjadi selama tiga hari tiga malam, dan bila kurang dari itu tidaklah disebut haid tetapi istihadhah. Sedangkan paling lama menurut madzhab ini adalah sepuluh hari sepuluh malam, kalau lebih dari itu bukan haid tapi istihadhah.
Dasar pendapat mereka adalah hadis beriut ini :
`Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Haid itu paling sepat buat perawan dan janda tiga hari. Dan paling lama sepuluh hari. (HR. Tabarani dan Daruquthni dengan sanad yang dhaif)
Al Malikiyah mengatakan paling cepat haid itu sekejap saja, bila seorang wanita mendapatkan haid dalam sekejap itu, batallah puasanya, salatnya dan tawafnya. Namun dalam kasus `iddah dan istibra` lamanya satu hari.
As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa paling cepat haid itu adalah satu hari satu malam. Dan umumnya enam atau tujuh hari. Dan paling lama lima belas hari lima belas malam. Bila lebih dari itu maka darah istihadhah. Pendapat ini sesuai dengan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a yang berkata :
Paling cepat haid itu sehari semalam, dan bila lebih dari lima belas hari menjadi darah istihadhah.`

V. Lama Masa Suci
Masa suci adalah jeda waktu antara dua haid yang dialami oleh seorang wanita. Masa suci memiliki dua tanda, pertama; keringnya darah dan kedua; adanya air yang berwarna putih pada akhir masa haid.
Untuk masa ini, Jumhur ulama selain Al-Hanabilah mengatakan bahwa masa suci itu paling cepat lima belas hari. Sedangkan Al-Hanabilah mengatakan bahwa : `Masa suci itu paling cepat adalah tiga belas hari.

VI. Perbuatan Yang Haram Dilakukan oleh Wanita yang Sedang Haid.
1. Shalat
Seorang wanita yang sedang mendapatkan haid diharamkan untuk melakukan salat. Begitu juga mengqada` salat. Sebab seorang wanita yang sedang mendapat haid telah gugur kewajibannya untuk melakukan salat. Dalilnya adalah hadis berikut ini :
Dari Aisyah ra berkata,"Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya,"Darah haidh itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu, janganlah shalat. Bila sudah selesai, maka berwudhu'lah dan lakukan shalat. (HR. Abu Daud dan An-Nasai) .
`Dari Aisyah r.a berkata : `Dizaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat haid, lalu kami diperintahkan untuk mengqada` puasa dan tidak diperintah untuk mengqada` salat (HR. Jama`ah).
Selain itu juga ada hadis lainnya:
`Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu mendapatkan haid maka tinggalkan salat`
2. Berwudu` atau mandi
As-Syafi`iyah dan al-Hanabilah mengatakan bahwa: `wanita yang sedang mendapatkan haid diharamkan berwudu`dan mandi janabah.
Maksudnya adalah bahwa seorang yang sedang mendapatkan haidh dan darah masih mengalir, lalu berniat untuk bersuci dari hadats besarnya itu dengan cara berwudhu' atau mandi janabah, seolah-olah darah haidhnya sudah selesai, padahal belum selesai.
Sedangkan mandi biasa dalam arti membersihkan diri dari kuman, dengan menggunakan sabun, shampo dan lainnya, tanpa berniat bersuci dari hadats besar, bukan merupakan larangan.
3. Puasa
Wanita yang sedang mendapatkan haid dilarang menjalankan puasa dan untuk itu ia diwajibkannya untuk menggantikannya dihari yang lain.
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bukankah bila wanita mendapat hatdh, dia tidak boleh shalat dan puasa?". (HR, Muttafaq 'alaihi)
4.Tawaf
Seorang wanita yang sedang mendapatkan haid dilarang melakukan tawaf. Sedangkan semua praktek ibadah haji tetap boleh dilakukan. Sebab tawaf itu mensyaratkan seseorang suci dari hadas besar.
Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji kecuali bertawaf disekeliling ka`bah hingga kamu suci (HR. Mutafaq `Alaih)
5. Menyentuh Mushaf dan Membawanya
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang menyentuh Al-Quran :
Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.` . (QS. Al-Waqi’ah ayat 79)
Jumhur ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang haidh dilarang menyentuh mushaf Al-Quran
6. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran
Kecuali dalam hati atau doa / zikir yang lafznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung.
Rasulullah SAW tidak terhalang dari membaca Al-Quran kecuali dalam keadaan junub.
Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita haidh membaca Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya bila masa haidhnya terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik.
7. Masuk ke Masjid
Dari Aisyah RA. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh`. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah.)
8. Bersetubuh
Wanita yang sedang mendapat haid haram bersetubuh dengan suaminya. Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:
`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Al-Baqarah : 222)
Yang dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya.
Sedangkan al Hanabilah membolehkan mencumbu wanita yang sedang haid pada bagian tubuh selain antara pusar dan lutut atau selama tidak terjadi persetubuhan. Hal itu didasari oleh sabda Rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau menjawab:
`Dari Anas ra bahwa Orang yahudi bisa para wanita mereka mendapat haidh, tidak memberikan makanan. Rasulullah SAW bersabda,"Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan". (HR. Muslim).
`Dari Aisyah ra berkata,"Rasulullah SAW memerintahkan aku untuk memakain sarung, beliau mencumbuku sedangkan aku dalam keadaan datang haidh". (HR. Muslim).
Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang haid ini tetap belangsung sampai wanita tersebut selesai dari haid dan selesai mandinya. Tidak cukup hanya selesai haid saja tetapi juga mandinya. Sebab didalam al Baqarah ayat 222 itu Allah menyebutkan bahwa wanita haid itu haram disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi suci itu bukan sekedar berhentinya darah namun harus dengan mandi janabah, itu adalah pendapat al Malikiyah dan as Syafi`iyah serta al Hanafiyah.
Kaffarat Menyetubuhi Wanita Haidh
Bila seorang wanita sedang haid disetubuhi oleh suaminya maka ada hukuman baginya menurut al Hanabilah. Besarnya adalah satu dinar atau setengah dinar dan terserah memilih yang mana. Ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW berikut :
`Dari Ibn Abbas dari Rasulullah SAW bersabda tentang orang yang menyetubuhi istrinya dalam keadaan haidh : `Orang yang menyetubuhi isterinya diwaktu haid haruslah bersedekah satu dinar atau setengah dinar` (HR. Khamsah)
As-Syafi`iyah memandang bahwa bila terjadi kasus seperti itu tidaklah didenda dengan kafarat, melainkan hanya disunnahkan saja untuk bersedekah. Satu dinar bila melakukannya diawal haid, dan setengah dinar bila diakhir haid.
Namun umumnya para ulama seperti al-Malikiyah, as Syafi`iyah dalam pendapatnya yang terbaru tidak mewajibkan denda kafarat bagi pelakunya cukup baginya untuk beristigfar dan bertaubat. Sebab hadis yang menyebutkan kafarat itu hadis yang mudahtharib sebagaimana yang disebutkan oleh al Hafidz Ibn Hajar.
9. Cerai
Seorang yang sedang haid haram untuk bercerai. Dan bila dilakukan juga maka thalaq itu adalah thalaq bid`ah. Dalilnya adalah :
`Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat iddahnya dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang . Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.` (QS. At-Thalaq : 1) ?


diambil dari
FIQIH ISLAM (Kitab Thaharah) Oleh H. Ahmad Sarwat, Lc

Wednesday, April 15, 2009

Mengusap Dua Khuff

Mengusap Dua Khuff

I. Makna mengusap khuff
Mengusap khuff artinya adalah mengusap sepatu, sebagai ganti dari mencuci kaki pada saat wudhu`. Mengusap khuff merupakan bentuk keringanan yang diberikan oleh Allah kepada umat Islam. Biasanya terkait dengan masalah udara yang sangat dingin padahal ada kewajiban untuk berwudhu dengan air dan hal itu menyulitkan sebagian orang untuk membuka bajunya, sehingga dibolehkan dalam kondisi tertentu untuk berwudhu tanpa membuka sepatu atau mencuci kaki. Cukup dengan mengusapkan tangan yang basah dengan air ke bagian atas sepatu dan mengusapnya dari depan ke belakang pada bagian atas.
Makna mengusap adalah menjalankan tangan diatas sesuatu dan secara syari`ah maksudnya ialah membasahkan tangan dengan air lalu mengusapkannya ke atas sepatu dalam masa waktu tertentu.

II. Pengertian Khuff
Sepatu atau segala jenis alas kaki yang bisa menutupi tapak kaki hingga kedua mata kaki, baik terbuat dari kulit maupun benda-benda lainnya. Dimana alas kaki bisa digunakan untuk berjalan kaki.

III. Masyru`iyah
Pensyariatan mengusap khuff didasari oleh beberapa dalil antara lain hadis Ali r.a
Dari Ali bin Abi Thalib berkata :`Seandainya agama itu semata-mata menggunakan akal maka seharusnya yang diusap adalah bagian bawah sepatu ketimbang bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah mengusap bagian atas kedua sepatunya.(HR. Abu Daud dan Daru Qudni dengan sanad yang hasan dan disahihkan oleh Ibn Hajar)
Selain itu ada juga hadis lainnya
Dari Ali bin Abi Thalib r.a berkata bahwa Rasulullah menetapkan tiga hari untuk musafir dan sehari semalam untuk orang mukim (untuk boleh mengusap khuff). (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Majah.)
Juga ada hadis dari al Mughirah bin Syu`bah
Dari al Mughirah bin Syu`bah berkata : Aku bersama dengan Nabi (dalam sebuah perjalanan) lalu beliau berwudhu. aku ingin membukakan sepatunya namun beliau berkata :`Tidak usah, sebab aku memasukkan kedua kakiku dalam keadaan suci". lalu beliau hanya megusap kedua sepatunya (HR. Mutafaqun `Alaih)
Ada juga hadis Sofwan bin `Asal
Dari Sofwan bin `Asal berkata bahwa Rasululah saw. memrintahkan kami untuk mengusap kedua sepatu bila kedua kaki kami dalam keadaan suci. selama tiga hari bila kami bepergian atau sehari semalam bila kami bermukim, dan kami tidak boleh membukanya untuk berak dan kencing kecuali karena junub (HR. Ahmad, NasA`i, Tirmizi dan dihasankan oleh Bukhari)

IV. Kalangan yang Mengingkari
Kalangan Syi`ah Imamiyah, Zaidiyah, Ibadhiyah, Khawarij adalah termasuk mereka yang mengingkari pensyariatan mengusap dua sepatu. Dengan pengecualian bahwa syiah al-Imamiyah membolehkannya bila dalam keadaan darurat saja. Sedangkan Khawarij mutlak tidak membolehkannya.
Dalil mereka adalah bahwa semua hadis diatas dianggap mansukh oleh ayat tentang wudhu pada surat Al-Maidah
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki (QS. Al-Maidah : 6)
Pendapat ini tentu saja tidak benar, sebab para ahli sejarah sepakat bahwa ayat wudhu ini turun pada saat perang Bani Mushtaliq yang terjadi pada bulan sya`ban tahun ke enam hijriah.
Sedangkan hadis tentang mengusap khuff terjadi pada perang Tabuk, yang jatuh pada bulan rajab tahun kesembilan hijriah. Jadi bagaimana mungkin ayat yang turun lebih dahulu menasakh atau membatalkan hukum yang datang kemudian?
Mereka juga berhujjah bahwa Ali bin Abi Thali ra pernah berkata: Bahwa Qur`an mendahului tentang masalah khuff. Pendapat ini juga salah, sebab perkataan beliau ra itu dari segi riwayat termasuk munqati` (terputus), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah (argumen) yang diterima.

IV. Praktek Mengusap Sepatu
Mengusap sepatu dilakukan dengan cara membasahi tangan dengan air, paling tidak menggunakan tiga jari, mulai dari bagian atas dan depan sepatu, tangan yang basah itu ditempelkan ke sepatu dan digeserkan ke arah belakang di bagian atas sepatu. Ini dilakukan cukup sekali saja, tidak perlu tiga kali. Sebenarnya tidak disunnahkan untuk mengulanginya beberapa kali seperti dalam wudhu'. Dan tidak sah bila yang diusap bagian bawah sepatu, atau bagian sampingnya atau bagian belakangnya.
• Yang wajib menurut mazhab Al-Malikiyah adalah mengusap seluruh bagian atas sepatu, sedangkan bagian bawahnya hanya disunahkan saja.
• Sedangkan mazhab As-Syafiiyah mengatakan cukuplah sekedar usap sebagaimana boleh mengusap sebagian kepala, yang diusap adalah bagian atas bukan bawah atau belakang.
• Mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa haruslah terusap sebagian besar bagian depan dan atas sepatu. Tidak disunahkan mengusap bawah atau belakangnya sebagaimana perkataan al Hanafiyah.

V. Syarat untuk Mengusap Sepatu
1. Berwudhu sebelum memakainya
Sebelum memakai sepatu seseorang diharuskan berwudhu atau suci dari hadas baik kecil maupun besar. Sebagian ulama mengatakan suci hadas kecilnya bukan dengan tayamum tetapi dengan wudhu. Namun mazhab As-Syafiiyah mengatakan boleh dengan tayamum.
2. Sepatunya harus suci dan menutupi tapak kaki hingga mata kaki
Tidak dibolehkan mengusap sepatu yang tidak menutupi mata kaki bersama dengan tapak kaki. Sepatu itu harus rapat dari semua sisinya hingga mata kaki. Sepatu yang tidak sampai menutup mata kaki tidak masuk dalam kriteria khuff yang disyariatkan, sehingga meski dipakai, tidak boleh menjalankan syariat mengusap.
3. Tidak Najis
Bila sepatu terkena najis maka tidak bisa digunakan untuk masalah ini. Atau sepatu yang terbuat dari kulit bangkai yang belum disamak menurut Al-Hanafiyah dan As-Syafiiyah. Bahkan menurut Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah, hukum kulit bangkai itu tidak bisa disucikan walaupun dengan disamak, sehingga semua sepatu yang terbuat dari kulit bangkai tidak bisa digunakan unuk masalah ini menurut mereka.
4. Tidak Berlubang
Mazhab As-Syafi’iyah dalam pendapatnya yang baru dan mazhab Al-Hanabilah tidak membolehkan bila sepatu itu bolong meskipun hanya sedikit. Sebab bolongnya itu menjadikannya tidak bisa menutupi seluruh tapak kaki dan mata kaki.
Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan mazhab Al-Hanafiyah secara istihsan dan mengangkat dari keberatan mentolerir bila ada bagian yang sedikit terbuka, tapi kalau bolongnya besar mereka pun juga tidak membenarkan.
5. Tidak Tembus Air
Mazhab Al-Malikiyah mengatakan bahwa sepatu itu tidak boleh tembus air. Sehingga bila terbuat dari bahan kain atau berbentuk kaus kaki dari bahan yang tembus air dianggap tidak sah.
Namun jumhur ulama menganggap bahwa itu boleh-boleh saja. Sehingga mazhab Al-Hanafiyah pun juga membolehkan seseorang mengusap kaos kakinya yang tebal.

VI. Masa Berlaku
Jumhur ulama mengatakan seseorang boleh tetap mengusap sepatunya selama waktu sampai tiga hari bila dia dalam keadaan safar. Bila dalam keadan mukim hanya satu hari. Dalilnya adalah yang telah disebutkan diatas:
"Dari Sofwan bin `Asal berkata bahwa Rasululah saw. memerintahkan kami untuk mengusap kedua sepatu bila kedua kaki kami dalam keadaan suci, selama tiga hari bila kami bepergian atau sehari semalam bila kami bermukim, dan kami tidak boleh membukanya untuk buang air besar dan kencing, kecuali karena junub" (HR. Ahmad, Nasa`i, Tirmizi dan dihasankan oleh Bukhari)
Sedangkan mazhab Al-Malikiyah tidak memberikan batasan waktu. Jadi selama waktu itu tidak dicopot selama itu pula dia tetap boleh mengusap sepatu. Dalilnya ialah :
Dari Ubai bin Imarah r.a berkata: Ya Rasulullah bolehkah aku mengusap dua sepatu beliau menjawab boleh aku bertanya lagi sehari ? beliau menjawab: sehari. Aku bertanya lagi ? Beliau menjawab : dua hari. Aku bertanya lagi tiga hari ? Beliau menjawab terserah.(HR. Abu Daud)
Hadis ini lemah isnadnya, dan rijalnya tidak dikenal sehingga pendapat al Malikiyah ini dianggap lemah.

VII. Yang membatalkan
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa masa berlaku syariat mengusap khuff ini sehari semalam bagi yang muqim dan 3 hari tiga malam bagi musafir. Semua itu terjadi manakala tidak ada hal-hal yang membatalkan kebolehannya.
Namun apabila dalam masa sehari semalam atau 3 hari 3 malam itu terjadi sesuatu yang membatalkan kebolehan mengusap khuff, maka secara otomatis selesai sudah masa berlakunya, meski belum sampai batas maksimal waktunya.
Adapun hal-hal yang bisa membatalkan kebolehan mengusap kedua khuff antara lain adalah :
1. Mendapat janabah
Bila seorang yang telah mengenakan khuff mendapatkan janabah, baik karena hubungan suami istri, atau karena keluar mani, maka dengan sendirinya gugur kebolehan mengusap kedua khuff sebagai ganti dari mencuci kaki dalam wudhu'. Sebab atasnya ada kewajiban yang lebih utama, yaitu mandi janabah. Dan untuk itu, dia wajib melepas sepatunya, lantaran kewajiban mandi janabah adalah meratakan air ke seluruh tubuh, termasuk ke kedua kaki. Dan untuk itu dia wajib melepas kedua khuffnya. Dan melepas kedua khuff tentu membatalkan kebolehannya.
2. Melepas atau terlepas sepatu baik satu atau keduanya
Apabila selama hari-hari dibolehkannya mengusap dua khuff, seseorang melepas sepatunya, maka kebolehan mengusap khuff dengan sendirinya menjadi gugur. Sebab syarat pelaksanan syariat ini adalah selalu dikenakannya kedua khuff tanpa dilepaskan. Jadi 24 jam dalam sehari harus tetap mengenakan. Sekali dilepas, maka batal kebolehannya.
3. Berlubang atau robek sehingga terlihat
Dengan berlubangnya sepatu sehingga kaki yang di dalam sepatu bisa terlihat, maka kebolehan mengusap dua khuff dengan sendirinya menjadi batal.
4. Basahnya kaki yang ada di dalam sepatu
Apabila kaki dalam sepatu terkena air hingga basah, maka kebolehan mengusap dua khuff menjadi batal dengan sendirinya. Dalam hal ini, keringnya kaki dalam khuff menjadi syarat sahnya syariat ini.
5. Habis waktunya.
Yaitu satu hari satu malam buat mereka yang muqim dan 3 hari bagi mereka yang dalam keadaan safar. Bila telah habis waktunya, wajib atasnya untuk berwudhu' dengan sempurna, yaitu dengan mencuci kaki. Namun setelah itu boleh kembali mengusap khuff seperti sebelumnya. ?


diambil dari
FIQIH ISLAM (Kitab Thaharah) Oleh H. Ahmad Sarwat, Lc

Tuesday, April 14, 2009

Mandi Janabah

Mandi Janabah

Mandi wajib adalah istilah yang sering digunakan oleh masyarakat kita. Nama sebenarnya adalah mandi janabah. Mandi ini merupakan tatacara ritual yang bersifat ta`abbudi dan bertujuan menghilangkan hadats besar.
I. Hal-hal Yang Mewajibkan Mandi Janabah
Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Tiga lagi sisanya hanya terjadi pada perempuan.
A. Keluarnya Mani
Keluarnya air mani menyebabkan seseorang mendapat janabah, baik dengan cara sengaja (masturbasi) atau tidak. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya air itu (kewajiban mandi) dari sebab air (keluarnya sperma). (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan air mani itu sendiri punya ciri khas yang membedakannya dengan wadi dan mazi :
1. Dari aromanya, air mani memiliki aroma seperti aroma 'ajin (adonan roti). Dan seperti telur bila telah mengering.
2. Keluarnya dengan cara memancar, sebagaimana firman Allah SWT : ?? ??? ????
3. Rasa lezat ketika keluar dan setelah itu syahwat jadi mereda.

B. Bertemunya Dua Kemaluan
Yang dimaksud dengan bertemunya dua kemaluan adalah kemaluan laki-laki dan kemaluan wanita. Dan istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan (jima'). Dan para ulama membuat batasan : dengan lenyapnya kemaluan (masuknya) ke dalam faraj wanita atau faraj apapun baik faraj hewan.
Termasuk juga bila dimasukkan ke dalam dubur, baik dubur wanita ataupun dubur laki-laki, baik orang dewasa atau anak kecil. Baik dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati. Semuanya mewajibkan mandi, di luar larangan perilaku itu.
Hal yang sama berlaku juga untuk wanita, dimana bila farajnya dimasuki oleh kemaluan laki-laki, baik dewasa atau anak kecik, baik kemaluan manusia maupun kemaluan hewan, baik dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati, termasuk juga bila yang dimasuki itu duburnya. Semuanya mewajibkan mandi, di luar masalah larangan perilaku itu.
Semua yang disebutkan di atas termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi, meskipun tidak sampai keluar air mani. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya, maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku melakukannya bersama Rasulullah SAW dan kami mandi.
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila seseorang duduk di antara empat cabangnya kemudian bersungguh-sungguh (menyetubuhi), maka sudah wajib mandi. (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Dalam riwayat Muslim disebutkan : "Meski pun tidak keluar mani"

C. Meninggal
Seseorang yang meninggal, maka wajib atas orang lain yang masih hidup untuk memandikan jenazahnya. Dalilnya adalah sabda Nabi Saw tentang orang yang sedang ihram tertimpa kematian :
Rasulullah SAW bersabda,"Mandikanlah dengan air dan daun bidara`. (HR. Bukhari dan Muslim)

D. Haidh
Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar terjadi pada seorang wanita dan bersifat rutin bulanan. Keluarnya darah haidh itu justru menunjukkan bahwa tubuh wanita itu sehat. Dalilnya adalah firman Allah SWT dan juga sabda Rasulullah SAW :
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah : 222)
Nabi SAW bersabda,`Apabila haidh tiba, tingalkan shalat, apabila telah selesai (dari haidh), maka mandilah dan shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim)

F. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah, meski bayi yang dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan atau melahirkan, maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah.
Hukum nifas dalam banyak hal, lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang nifas tidak boleh shalat, puasa, thawaf di baitullah, masuk masjid, membaca Al-Quran, menyentuhnya, bersetubuh dan lain sebagainya.

G. Melahirkan
Seorang wanita yang melahirkan anak, meski anak itu dalam keadaan mati, maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya tidak mengalami nifas, namun tetap wajib atasnya untuk mandi lantaran persalinan yang dialaminya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa 'illat atas wajib mandinya wanita yang melahirkan adalah karena anak yang dilahirkan itu pada hakikatnya adalah mani juga, meski sudah berubah wujud menjadi manusia. Dengan dasar itu, maka bila yang lahir bukan bayi tapi janin sekalipun, tetap diwajibkan mandi, lantaran janin itu pun asalnya dari mani.
* * *

II. Fardhu Mandi Janabah
Untuk melakukan mandi janabah, maka ada dua hal yang harus dikerjakan karena merupakan rukun/pokok:
A. Niat dan menghilangkan najis dari badan bila ada.
Semua perbuatan itu tergantung dari niatnya. (HR Bukhari dan Muslim)
B. Menghilangkan Najis Kalau Ada di Badan
Menghilangkan najis dari badan sesunguhnya merupakan syarat sahnya mandi janabah. Dengan demikian, bila seorang akan mandi janabah, disyaratkan sebelumnya untuk memastikan tidak ada lagi najis yang masih menempel di badannya.
Caranya bisa dengan mencucinya atau dengan mandi biasa dengan sabun atau pembersih lainnya. Adapun bila najisnya tergolong najis berat, maka wajib mensucikannya dulu dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
C. Meratakan Air Hingga ke Seluruh Badan
Seluruh badan harus rata mendapatkan air, baik kulit maupun rambut dan bulu. Baik akarnya atau pun yang terjuntai. Semua penghalang wajib dilepas dan dihapus, seperti cat, lem, pewarna kuku atau pewarna rambut bila bersifat menghalangi masuknya air.
Sedangkan pacar kuku (hinna') dan tato, tidak bersifat menghalangi sampainya air ke kulit, sehingga tetap sah mandinya, lepas dari masalah haramnya membuat tato.
* * *

III. Tata Cara Mandi Janabah
Pertama kedua tangan dicuci, kemudian mandi pertama kepala, kemudian terus dari bagian sebelah kanan, kemudian kiri, terakhir cuci kaki.
Adapun urutan-urutan tata cara mandi junub, adalah sebagai berikut
1. Mencuci kedua tangan dengan tanah atau sabun lalu mencucinya sebelum dimasukan ke wajan tempat air
2. Menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri
3. Mencuci kemaluan dan dubur.
4. Najis-nsjis dibersihkan
5. Berwudhu sebagaimana untuk sholat, dan mnurut jumhur disunnahkan untuk mengakhirkan mencuci kedua kaki
6. Memasukan jari-jari tangan yang basah dengan air ke sela-sela rambut, sampai ia yakin bahwa kulit kepalanya telah menjadi basah
7. Menyiram kepala dengan 3 kali siraman
8. Membersihkan seluruh anggota badan
9. Mencuci kaki, dalil :
Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW memulainya dengan mencuci kedua tangannya, kemudian ia menumpahkan air dari tangan kanannya ke tangan kiri lalu ia mencuci kemaluannya kemudia berwudku seperti wudhu` orang shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukan jari-jari tangannya ke sela-sela rambutnya, dan apabila ia yakin semua kulit kepalanya telah basah beliau menyirami kepalnya 3 kali, kemudia beliau membersihkan seluruh tubhnya dengan air kemudia diakhir beliau mencuci kakinya (HR Bukhari/248 dan Muslim/316)
* * *


IV. Sunnah-sunnah Yang Dianjurkan Dalam Mandi Janabah:
1. Membaca basmalah
2. Membasuh kedua tangan sebelum memasukkan ke dalam air
3. Berwudhu` sebelum mandi Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW berwudku seperti wudhu` orang shalat (HR Bukhari dan Muslim)
4. Menggosokkan tangan ke seluruh anggota tubuh. Hal ini untuk membersihkan seluruh anggota badan.
5. Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu`.
* * *


V. Mandi Janabah Yang Hukumnya Sunnah
Selain untuk `mengangkat` hadats besar, maka mandi janabah ini juga bersifat sunnah -bukan kewajiban-untuk dikerjakan (meski tidak berhadats besar), terutama pada keadaan berikut:
1. Shalat Jumat
2. Shalat hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha
3. Shalat Gerhana Matahari (kusuf) dan Gerhana Bulan (khusuf)
4. Shalat Istisqa`
5. Sesudah memandikan mayat
6. Masuk Islam dari kekafiran
7. Sembuh dari gila
8. Ketika akan melakukan ihram
9. Masuk ke kota Mekkah
10. Ketika wukuf di Arafah
11. Ketika akan thawaf, menurut Imam Syafi`i itu adalah salah satu sunnah dalam berthawaf
Bagi muslim yang keluar mani sengaja atau tidak, maka dia dalam keadaan junub, sehingga harus disucikan dengan mandi wajib. Jika tidak mandi, maka shalatnya tidak sah.


VI. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Ketika Mandi Junub :
a. Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu`. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan oleh hadits dari Aisyah, ia berkata:
Rasulullah SAW menyenangi untuk mendahulukan tangan kanannya dalam segala urusannya; memakai sandal, menyisir dan bersuci (HR Bukhari/5854 dan Muslim/268)
b. Tidak perlu berwudhu lagi setelah mandi. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits dari Aisyah RA, ia berkata:
Rasulullah SAW mandi kemudian shalat dua rakaat dan sholat shubuh, dan saya tidak melihat beliau berwudhu setelah mandi (HR Abu Daud, at-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
* * *


VII. Hal-Hal Yang Haram Dikerjakan Oleh Orang Yang Junub
a. Shalat
b. Tawaf
c. Memegang / Menyentuh Mushaf
`Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.` . (QS. Al-Waqi’ah ayat 79)
Jumhur Ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang haidh dilarang menyentuh mushaf Al-Quran
d. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran kecuali dalam hati, doa, zikir yang lafznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung.
Rasulullah SAW tidak terhalang dari membaca Al-Quran kecuali dalam keadaan junub.
Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita haidh membaca Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya bila masa haidhnya terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik.
e. Berihram
f. Masuk ke Masjid
Dari Aisyah RA. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh`. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah.
Apabila haidh tiba, tingalkan shalat, apabila telah selesai (dari haidh), maka mandilah dan shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim) ?


diambil dari
FIQIH ISLAM (Kitab Thaharah) Oleh H. Ahmad Sarwat, Lc

Monday, April 13, 2009

Tayammum

Tayammum

I. Pengertian Tayammum
Secara bahasa, tayammum itu maknanya adalah al-qashdu, yaitu bermaksud.
Sedangkan secara syar`i maknanya adalah bermaksud kepada tanah atau penggunaan tanah untuk bersuci dari hadats kecil maupun hadats besar. Caranya dengan menepuk-nepuk kedua tapak tangan ke atas tanah lalu diusapkan ke wajah dan kedua tangan dengan niat untuk bersuci dari hadats.
Tayammum berfungsi sebagai pengganti wudhu` dan mandi janabah sekaligus. Dan itu terjadi pada saat air tidak ditemukan atau pada kondisi-kondisi lainnya yang akan kami sebutkan. Maka bila ada seseorang yang terkena janabah, tidak perlu bergulingan di atas tanah, melainkan cukup baginya untuk bertayammum saja. Karena tayammum bisa menggantikan dua hal sekaligus, yaitu hadats kecil dan hadats besar.

II. Masyru`iyah (Dalil Pensyariatannya)
Syariat Tayammum dilandasi oleh dalil-dalil syar`i baik dari Al-Quran, Sunnah dan Ijma`.
1. Dalil Al-Quran
Allah SWT telah berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang kebolehan bertayammum pada kondisi tertentu bagi umat Islam.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.(QS. An-Nisa : 43)
2. Dalil Sunnah
Selain dari Al-Quran Al-Kariem, ada juga landasan syariah berdasarkan sunnah Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang pensyariatan tayammum ini.
Dari Abi Umamah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Telah dijadikan tanah seluruhnya untukkku dan ummatku sebagai masjid dan pensuci. Dimanapun shalat menemukan seseorang dari umatku, maka dia punya masjid dan media untuk bersci. (HR. Ahmad 5 : 248)
3. Ijma`
Selain Al-Quran dan Sunnah, tayammum juga dikuatkan dengan landasan ijma` para ulama muslimin yang seluruhnya bersepakat atas adanya masyru`iyah tayammum sebagai pengganti wudhu`.

III. Tayammum Khusus Milik Umat Muhammad SAW
Salah satu kekhususan umat Nabi Muhammad SAW dibandingkan dengan umat lainnya adalah disyariatkannya tayammum sebagai pengganti wudhu` dalam kondisi tidak ada air atau tidak mungkin bersentuhan dengan air. Di dalam agama samawi lainnya, tidak pernah Allah SWT mensyariatkan tayammum. Jadi tayammum adalah salah satu ciri agama Islam yang unik dan tidak ditemukan bandingannya di dalam Nasrani atau Yahudi.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi SAW bersabda,”Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi sebelumku : Aku ditolong dengan dimasukkan rasa takut sebulan sebelumnya, dijadikan tanah sebagai masjid dan media bersuci, sehingga dimanapun waktu shalat menemukan seseorang, dia bisa melakukannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

IV. Hal-hal Yang Membolehkan Tayammum
1. Tidak Adanya Air
Dalam kondisi tidak ada air untuk berwudhu` atau mandi, seseorang bisa melakukan tayammum dengan tanah. Namun ketiadaan air itu harus dipastikan terlebih dahulu dengan cara mengusahakannya. Baik dengan cara mencarinya atau membelinya.
Dan sebagaimana yang telah dibahas pada bab air, ada banyak jenis air yang bisa digunakan untuk bersuci termasuk air hujan, embun, es, mata air, air laut, air sungai dan lain-lainnya. Dan di zaman sekarang ini, ada banyak air kemasan dalam botol yang dijual di pinggir jalan, semua itu membuat ketiadaan air menjadi gugur.
Bila sudah diusahakan dengan berbagai cara untuk mendapatkan semua jenis air itu namun tetap tidak berhasil, barulah tayammum dengan tanah dibolehkan.
Dalil yang menyebutkan bahwa ketiadaan air itu membolehkan tayammum adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini :
Dari Imran bin Hushain ra berkata bahwa kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Belaiu lalu shalat bersama orang-orang. Tiba-tiba ada seorang yang memencilkan diri (tidak ikut shalat). Beliau bertanya,"Apa yang menghalangimu shalat ?". Orang itu menjawab,"Aku terkena janabah". Beliau menjawab,"Gunakanlah tanah untuk tayammum dan itu sudah cukup". (HR. Bukhari 344 Muslim 682)
Bahkan ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa selama seseorang tidak mendapatkan air, maka selama itu pula dia boleh tetap bertayammum, meskipun dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus.
Dari Abi Dzar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tanah itu mensucikan bagi orang yang tidak mendapatkan air meski selama 10 tahun". (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa`i, Ahmad).
2. Karena Sakit
Kondisi yang lainnya yang membolehkan seseorang bertayammum sebagai penggati wudhu` adalah bila seseorang terkena penyakit yang membuatnya tidak boleh terkena air. Baik sakit dalam bentuk luka atau pun jenis penyakit lainnya. Tidak boleh terkena air itu karena ditakutnya akan semakin parah sakitnya atau terlambat kesembuhannya oleh sebab air itu. Baik atas dasar pengalaman pribadi maupun atas advis dari dokter atau ahli dalam masalah penyakit itu. Maka pada saat itu boleh baginya untuk bertayammum.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW berikut ini :
Dari Jabir ra berkata,"Kami dalam perjalanan, tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya,"Apakah kalian membolehkan aku bertayammum ?". Teman-temannya menjawab,"Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu, bersabdalah beliau,"Mereka telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum ...(HR. Abu Daud 336, Ad-Daruquthuny 719).
3. Karena Suhu Yang Sangat Dingin
Dalam kondisi yang teramat dingin dan menusuk tulang, maka menyentuh air untuk berwudhu adalah sebuah siksaan tersendiri. Bahkan bisa menimbulkan madharat yang tidak kecil. Maka bila seseorang tidak mampu untuk memanaskan air menjadi hangat walaupun dengan mengeluarkan uang, dia dibolehkan untuk bertayammum.
Di beberapa tempat di muka bumi, terkadang musim dingin bisa menjadi masalah tersendiri untuk berwudhu`, jangankan menyentuh air, sekedar tersentuh benda-benda di sekeliling pun rasanya amat dingin. Dan kondisi ini bisa berlangsung beberapa bulan selama musim dingin.
Tentu saja tidak semua orang bisa memiliki alat pemasan air di rumahnya. Hanya kalangan tertentu yang mampu memilikinya. Selebihnya mereka yang kekurangan dan tinggal di desa atau di wilayah yang kekurangan, akan mendapatkan masalah besar dalam berwudhu` di musim dingin. Maka pada saat itu bertayammum menjadi boleh baginya.
Dalilnya adalah taqrir Rasulullah SAW saat peristiwa beliau melihat suatu hal dan mendiamkan, tidak menyalahkannya.
Dari Amru bin Al-`Ash ra bahwa ketika beliau diutus pada perang Dzatus Salasil berakta,"Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku bertayammum dan shalat shubuh mengimami teman-temanku. Ketika kami tiba kepada Rasulullah SAW, mereka menanyakan hal itu kepada beliau. Lalu beliau bertanya,"Wahai Amr, Apakah kamu mengimami shalat dalam keadaan junub ?". Aku menjawab,"Aku ingat firman Allah [Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu], maka aku tayammum dan shalat". (Mendengar itu) Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata apa-apa. (HR. Ahmad, Al-hakim, Ibnu Hibban dan Ad-Daruquthuny).
4. Karena Tidak Terjangkau
Kondisi ini sebenarnya bukan tidak ada air. Air ada tapi tidak bisa dijangkau. Meskipun ada air, namun bila untuk mendapatkannya ada resiko lain yang menghalangi, maka itupun termasuk yang membolehkan tayammum.
Misalnya takut bila dia pergi mendapatkan air, takut barang-barangnya hilang, atau beresiko nyawa bila mendapatkannya. Seperti air di dalam jurang yang dalam yang untuk mendapatkannya harus turun tebing yang terjal dan beresiko pada nyawanya.
Atau juga bila ada musuh yang menghalangi antara dirinya dengan air, baik musuh itu dalam bentuk manusia atau pun hewan buas. Atau bila air ada di dalam sumur namun dia tidak punya alat untuk menaikkan air. Atau bila seseorang menjadi tawanan yang tidak diberi air kecuali hanya untuk minum.
5. Karena Air Tidak Cukup
Kondisi ini juga tidak mutlak ketiadaan air. Air sebenarnya ada namun jumlahnya tidak mencukupi. Sebab ada kepentingan lain yang jauh lebih harus didahulukan ketimbang untuk wudhu`. Misalnya untuk menyambung hidup dari kehausan yang sangat.
Bahkan para ulama mengatakan meski untuk memberi minum seekor anjing yang kehausan, maka harus didahulukan memberi minum anjing dan tidak perlu berwudhu` dengan air. Sebagai gantinya, bisa melakukan tayammum dengan tanah.
6. Karena Takut Habisnya Waktu
Dalam kondisi ini, air ada dalam jumlah yang cukup dan bisa terjangkau. Namun masalahnya adalah waktu shalat sudah hampir habis. Bila diusahakan untuk mendaptkan air, diperkirakan akan kehilangan waktu shalat. Maka saat itu demi mengejar waktu shalat, bolehlah bertayammum dengan tanah.

V. Tanah Yang Bisa Digunakan Untuk Tayammum
Dibloehkan betayammum dengan menggunakan tanah yang suci dari najis. Dan semua yang sejenis dengan tanah seperti batu, pasir atau kerikil. Sebab di dalam Al-Quran disebutkan dengan istilah sha`idan thayyiba (????? ????) yang artinya disepakati ulama sebagai apapun yang menjadi permukaan bumi, baik tanah atau sejenisnya.

VI. Cara Bertayammum
Cara tayammum amat sederhana. Cukup dengan niat, lalu menepukkan kedua tapak tangan ke tanah yang suci dari najis. Lalu diusapkan ke wajah dan kedua tangan sampai batas pergelangan. Selesailah rangkaian tayammum. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika Ammar bertanya tentang itu.
Dari Ammar ra berkata,"Aku mendapat janabah dan tidak menemukan air. Maka aku bergulingan di tanah dan shalat. Aku ceritakan hal itu kepada Nabi SAW dan beliau bersabda,"Cukup bagimu seperti ini : lalu beliau menepuk tanah dengan kedua tapak tangannya lalu meniupnya lalu diusapkan ke wajah dan kedua tapak tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam lafadz lainnya disebutkan :
Cukup bagimu untuk menepuk tanah lalu kamu tiup dan usapkan keduanya ke wajah dan kedua tapak tanganmu hingga pergelangan. (HR. Ad-Daruquthuny)

VII. Hal-hal Yang Membatalkan Tayammum
1. Segala yang membatalkan wudhu` sudah tentu membatalkan tayammum. Sebab tayammum adalah pengganti dari wudhu`.
2. Bila ditemukan air, maka tayammum secara otomatis menjadi gugur.
3. Bila halangan untuk mendapatkan air sudah tidak ada, maka batallah tayammum.
Bila seseorang bertayammum lalu shalat dan telah selesai dari shalatnya, tiba-tiba dia mendapatkan air dan waktu shalat masih ada. Apa yang harus dilakukannya ?
Para ulama mengatakan bahwa tayammum dan shalatnya itu sudah syah dan tidak perlu untuk mengulangi shalat yang telah dilaksanakan. Sebab tayammumnya pada saat itu memang benar, lantaran memang saat itu dia tidak menemukan air. Sehingga bertayammumnya sah. Dan shalatnya pun sah karena dengan bersuci tayammum. Apapun bahwa setelah itu dia menemukan air, kewajibannya untuk shalat sudah gugur.
Namun bila dia tetap ingin mengulangi shalatnya, dibenarkan juga. Sebab tidak ada larangan untuk melakukannya. Dan kedua kasus itu pernah terjadi bersamaan pada masa Rasulullah SAW.
Dari Atha' bin Yasar dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa ada dua orang bepergian dan mendapatkan waktu shalat tapi tidak mendapatkan air. Maka keduanya bertayammum dengan tanah yang suci dan shalat. Selesai shalat keduanya menemukan air. Maka seorang diantaranya berwudhu dan mengulangi shalat, sedangkan yang satunya tidak. Kemudian keduanya datang kepada Rasulullah SAW dan menceritakan masalah mereka. Maka Rasulullah SAW berkata kepada yang tidak mengulangi shalat,"Kamu sudah sesuai dengan sunnah dan shalatmu telah memberimu pahala". Dan kepada yang mengulangi shalat,"Untukmu dua pahala". (HR. Abu Daud 338 dan An-Nasa`i 431) ?


diambil dari
FIQIH ISLAM (Kitab Thaharah) Oleh H. Ahmad Sarwat, Lc

Shalat Berjamaah

Shalat Berjamaah


Diantara keistimewaan ajaran Islam adalah disyariatkannya banyak bentuk ibadah dengan cara berjamaah, sehingga bisa menjadi representasi sebuah muktamar Islam, dimana umat Islam berkumpul bersama pada satu tempat dan satu waktu. Mereka bisa saling bertemu, bertatap muka, saling mengenal dan saling berinteraksi satu sama lain. Bahkan mereka bisa saling belajar atas apa yang telah mereka pahami.
Between idiosyncrasy of Islam teaching be disyariatkan the is multiform religious service by the way of hour(clock, so that can become representation a Islam diet, where Islam believer gathered together by one places and one time. They can be each other meet, looks in the face, be each other recognize and interacts one another. Even they can be each other learning to has they have comprehend.


Allah telah memerintahkan umat Islam untuk berjamaah terutama dalam beribadah kepada-Nya. Maka redaksional perintahnya pun datang dengan bentuk jamak.
God has commanded Islam believer for hour(clock especially in having religious service to it. Hence redaksional its(the comand is also comes with plural form.


Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.(QS. Al-HAjj : 77-78)
Hi believe people who, your ruku`lah, your sujudlah, curtseys Tuhanmu and perbuatlah benefaction, so that you gets victory. And your berjihadlah at God road(streets with jihad which his(its really. He has chosen you and He is not on any account makes for you in religion a narrowness. religion people your stripper Ibrahim. He has named all you of moslem people from former , and in this, so that Rasul becomes eyewitness to your x'self and so that you all becomes eyewitness to whole man, hence building prays, gives or obtain cash for religious obligatory and hangs on you at God string. He is Pelindungmu, hence Dialah sebaik-baik Pelindung and sebaik-baik Penolong(QS. Al-HAjj : 77-78)


Umat Islam berdiri di hadapan tuhan mereka pun secara berjamaah, hal itu tercermin dalam ayat-ayat dalam surat Al-Fatihah yang juga menggunakan kata `kami`.
Islam Believer stands up before the infinite they also in hour(clock, that thing mirror in sentences in letter Al-Fatihah which also applies word ` we`.


Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan.(QS. Al-Fatihah : 6-7)
Only to we curtsey and only to we ask pertolongan(QS. Al-Fatihah : 6-7)


A. Sejarah Shalat Jamaah
A. History Of Shalat Jamaah


Jauh sebelum disyariatkan shalat 5 waktu saat mi`raj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, umat Islam sudah melakukan shalat jamaah, namun siang hari setelah malamnya beliau mi`raj, datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam mengajarkan teknis pengerjaan shalat dengan berjamaah. Saat itu memang belum ada syariat Adzan, yang ada baru panggilan untuk berkumpul dalam rangka shalat. Yang dikumandangkan adalah seruan `Ash-shalatu jamiah`, lalu Jibril shalat menjadi imam buat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat menjadi imam buat para shahabat lainnya.
Far before disyariatkan [by] shalat 5 time when mi`raj Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam, Islam believer has done shalat jamaah, but daytime after its(the night he(she is mi`raj, comes angel Jibril ‘ alaihissalam teachs technical of workmanship of shalat with hour(clock. That moment of course has not there are syariat Adzan, the new of call to gather for the agenda of shalat. What echoed is exclamation ` Ash-shalatu jamiah`, then Jibril shalat became prophet create imam shallallahu ‘ alaihi wasallam then prophet shallallahu ‘ alaihi wasallam shalat becomes create imam of the other shahabat.


Namun syariat untuk shalat berjamaah memang belum lagi dijalankan secara sempurna dan tiap waktu shalat, kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah dan membangun masjid. Saat itulah shalat berjamaah dilakukan tiap waktu shalat di masjid dengan ditandai dengan dikumandangkannya Adzan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Bilal radhiyallahu ‘anhu untuk berAdzan dengan sabdanya :
But syariat for shalat hour(clock of course not to mention implemented perfectly and every time shalat, except after him(her shallallahu ‘ alaihi wasallam arrives at Madinah and builds mosque. When that is shalat hour(clock is done every time shalat in mosque by marked with echoing of Adzan. Prophet shallallahu ‘ alaihi wasallam asks Bilal radhiyallahu ‘ anhu for quad with its(the word :


Wahai Bilal, bangunlah dan lihatlah apa yang diperintahkan Abdullah bin Zaid dan lakukan sesuai perintahnya. (HR. Bukhari)
Wahai Bilal, similar and sees what commanded by Abdullah bin Zaid and does its(the as per advice. ( HR. Bukhari)


B. Anjuran untuk Shalat Berjamaah
B. Fomentation for Shalat Berjamaah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh kali`. (HR Muslim)(Note1)
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam its(the bersabda,`Shalat one with hour(clock too many for one shalat alone with twenty seven times`. ( HR MUSLIM)(NOTE1)


Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari(note2) dalam kitab adzan telah menyebutkan secara rinci apa saja yang membedakan keutamaan seseorang shalat berjamaah dengan yang shalat sendirian. Diantaranya adalah ketika seseorang menjawab Adzan, bersegera shalat di awal waktu, berjalannya menuju masjid dengan sakinah, masuknya ke masjid dengan berdoa, menunggu jamaah, shalawat malaikat atas orang yang shalat, serta permohonan ampun dari mereka, kecewanya syetan karena berkumpulnya orang-orang untuk bericadah, adanya pelatihan untuk membaca Al-Quran dengan benar, pengajaran rukun-rukun shalat, keselamatan dari kemunafikan dan seterusnya.
Ibnu Hajar in its(the book Fathul Bari(note2) in book adzan has mentioned in detail any kind of differentiating main of someone shalat hour(clock with shalat alone. Between it is when someone answers Adzan, made haste shalat in the beginning of time, run of towards mosque with sakinah, the entry of to mosque by praying, bes awaiting jamaah, shalawat angel to man who shalat, and application of pardon from they, disappointed of syetan because gathering it people for bericadah, existence of training to read Al-Quran truly, teaching of foundations shalat, safety from hypocrisy and so.


Semua itu tidak didapat oleh orang yang melakukan shalat dengan cara sendirian di rumahnya. Dalam hadits lainnya disebutkan juga keterangan yang cukup tentang mengapa shalat berjamaah itu jauh lebih berharga dibandingkan dengan shalat sendirian.
It all is not gotten by man who is doing shalat by the way of alone in its(the house. In other hadits is mentioned also annotations that is enough about why shalat the hour(clock far more valuably is compared to shalat alone.


Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada bila shalat sendirian atau shalat di pasarnya dengan duap puluh sekian derajat. Hal itu karena dia berwudhu dan membaguskan wudhu`nya, kemudian mendatangi masjid dimana dia tidak melakukannya kecuali untuk shalat dan tidak menginginkannya kecuali dengan niat shalat. Tidaklah dia melangkah dengan satu langkah kecuali ditinggikan baginya derajatnya dan dihapuskan kesalahannya hingga dia masuk masjid....dan malaikat tetap bershalawat kepadanya selama dia berada pada tempat shalatnya seraya berdoa,"Ya Allah berikanlah kasihmu kepadanya, Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah ampunilah dia...". (HR. Muslim dalam kitab al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 649)
From Abi Hurairah radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam its(the bersabda,"Shalat one with hour(clock too many for one if(when shalat alone or shalat in its(the market with duap puluh so much degree. That thing is because him(her berwudhu and good of wudhu` his(its, then visits mosque where s(he to do not make it except for shalat and doesn't wish it except with intention shalat. Not him(her melangkah with one steps except heightened for him[s its(the degree and abolished its(the mistake is finite s(he is admission masjid....dan permanent angel of bershalawat to it during s(he stays at place of its(the shalat as great as berdoa,"Ya God gives your love to it, Yes God forgives him(her, Yes God forgives him(her...". ( HR. Moslem in book al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 649)


Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
At other opportunity, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam word :


Dari Abi Darda` radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya". (HR Abu Daud dan Nasai) (note3)
From Abi Darda` radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah 3 man who live in a kampong or pelosok but do not make shalat jamaah, except syetan has mastered them. So it will all of you hour(clock, because srigala eats sheep getting out of its(the folk". ( HR ABU DAUD and Nasai) ( note3)


Dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa aku melihat dari kami yaitu tidaklah seseorang meninggalkan shalat jamaah kecuali orang-orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya atau seorang yang memang sakit yang tidak bisa berjalan". (HR. Muslim)
From Ibnu Mas`ud radhiyallahu ‘ anhu says that I see from us that is not someone leaves shalat jamaah except hypocrisy people which have been recognized its(the hypocrisy or a who of course pain which cannot run". ( HR. Moslem)


Dari Ibni Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Siapa yang mendengar adzan namun tidak mendatanginya untuk shalat, maka tidak ada shalat baginya. Kecuali bagi orang yang uzur". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Al-Hakim)(note4)
From Ibni Abbas radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda,"Siapa hearing adzan but doesn't visit it for shalat, hence there is no shalat for him[s. Except for man who is sick". ( HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Al-Hakim)(note4)


Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
At other opportunity, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam word :


Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR. Bukhari dan Muslim)(note5)
From Abi Hurairah radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam its(the bersabda,"Sesungguh shalat which is heaviest made hypocrite is shalat Isya and Shubuh. If only they know will which they earn from both shalat, surely they will visit it is even by crawling. It is really I had desire to command shalat and build, then I command one to become imam. Then go with me with a few people to bring a cluster of firewood towards to a clan that is is not attend shalat and I am their houses burning with fires". ( HR. Bukhari and Muslim)(note5)


C. Siapakah Yang Disyariatkan Untuk Shalat Jamaah
C. Who Disyariatkan For Shalat Jamaah


Telah disyariatkan untuk menjalankan shalat 5 waktu secara berjamaah kepada orang-orang dengan kriteria berikut ini :
Had been disyariatkan to implement shalat 5 time in hour(clock to people with criterion following :


1. Muslim laki-laki, sedangkan wanita tidak wajib untuk shalat berjamaah secara ijma`.
1. Men moslem, while woman is not mandatory for shalat hour(clock in ijma`.


Shalat berjamaah hanya sunnah saja bagi wanita. Itupun bila aman dari fitnah serta adanya jaminan terjaganya adab-adab mereka untuk pergi ke masjid.
Shalat hour(clock sunnah only be just for woman. Itupun if(when safe from libel and existence of guarantee awakes it is civil they to go to mosque.


2. Merdeka, sedangkan budak tidak diwajibkan untuk shalat berjamaah.
2. Independences, while slave is not obliged for shalat hour(clock.


3. Orang yang tidak punya halangan / uzur syar`i.
3. Man is having no barrier / infirm syar`i.


4. Hanya untuk shalat fardhu yang 5 waktu saja,
4. Just for shalat fardhu which 5 time only,


Sedangkan shalat jamaah lainnya yang hukumnya sunnah tidak wajib dihadiri. Seperti shalat Idul Fitri, Idul Adha, Shalat Istisqa` atau shalat gerhana matahari dan bulan.
While shalat other jamaah punishing it sunnah is not be obliged to attended. Like shalat Idul fitri, Idul Adha, Shalat Istisqa` or shalat sun eclipse and month.


D. Kapan Seorang Masbuq Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjamaah
D. When A Masbuq Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjamaah


Shalat berjamaah yang afdhal adalah dilakukan bersama imam sejak mula sebelum imam memulai shalat. Bahkan sejak mendengar panggilan Adzan. Namun bila ada seorang masbuq (yang munyusul) sebuah shalat berjamaah, sampai batas manakah dia masih bisa mendapat shalat berjamaah dan keutamaannya?
Shalat hour(clock which afdhal was done with imam since beginning before imam starts shalat. Even since hearing call for Adzan. But if (there are) any a masbuq ( which munyusul) a shalat hour(clock, to a point which s(he able to get shalat hour(clock and his(its main?


Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa minimal seorang makmum harus mendapatkan satu rakaat sempurna bersama imam. Sedangkan yang lain mengatakan minimal seorang makmum ikut satu kali takbir bersama imam. Lebih dalam lagi kammi uraikan berikut ini.
In this case the moslem scholars differs in opinion. Partly telling that minimizing a makmum must get one perfect rakaat with imam. While other tells minimizing a makmum to follow once takbir with imam. Deeper again kammi elaborated following.


1. Pendapat Pertama : minimal ikut satu rakaat terakhir
1. First Opinion : minimum followed one last rakaat


Sebagian ulama mengatakan bahwa bila makmum itu masih bisa ikut satu rakaat penuh bersama imam, maka dia termasuk mendapatkan shalat berjamaah. Diantara yang berpendapat demikian seperti para ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah, Al-Ghazali dari kalangan mazhab Asy-Syafi`iyah, sebuah riwayat dari imam Ahmad bin Hanbal, zahir pendapat Ibnu Abi Musa, Ibnu Taymiyah, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab serta Syeikh Abdurrahman bin As-Sa`di.
Some of moslem scholars tells that if(when makmum able to follow one full rakaat with imam, hence s(he is be including getting shalat hour(clock. Between having a notion that way like the moslem scholars among sect Al-Malikiyah, Al-Ghazali from sect circle Asy-Syafi`iyah, a history from imam Ahmad bin Hanbal, zahir opinion Ibnu Abi Musa, Ibnu Taymiyah, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab and Syeikh Abdurrahman bin As-Sa`di.


Adapun dasar pendapat mereka antara lain dalil-dalil berikut ini:
As for their opinion base for example theorems following:


Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia mendapatkan shalat`.(HR. Bukhari 1/145 Muslim 1/423 dan lafazh hadits ini oleh Muslim).
From Abi Hurairah radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda,`Siapa getting one rakaat with imam, hence s(he gets shalat`(HR. Bukhari 1/145 Moslems 1/423 and lafazh this hadits by Muslim).


Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Siapa yang mendapatkan satu rakaat dalam shalat jumat atau shalat lainnya, maka dia mendapatkan shalat`.(HR. Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim)(note6)
From Ibnu Umar radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda,`Siapa getting one rakaat in shalat jumat or other shalat, hence s(he gets shalat`(HR. Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim)(note6)


Ibnu Taymiyah menambahkan bahwa bila seorang makmum ikut sebuah shalat jamaah tapi kurang dari satu rakaat bersama imam, tidak bisa dikatakan telah ikut shalat jamaah. Sebab gerakan yang kurang dari satu rakaat tidak bisa dihitung sebagai rakaat shalat, sehingga bila makmum hanya mendapatkan kurang dari satu rakaat bersama imam, yaitu baru masuk ke dalam shalat setelah imam bangun dari ruku` pada rakaat terakhir, maka dia dianggap tidak mendapatkan shalat jamaah, meski pun pada gerakan terakhir sempat shalat bersama imam.
Ibnu Taymiyah adds that if(when a makmum follows a shalat jamaah but less than one rakaat with imam, cannot be told has followed shalat jamaah. Because movement that is less than one rakaat cannot be ranked among rakaat shalat, so that if(when makmum only get less than one rakaat with imam, that is has just come into shalat after similar imam from my ruthenium` at last rakaat, hence s(he is assumed not to get shalat jamaah, even also at last movement shalat have time to with imam.


2. Pendapat Kedua : minimal ikut satu takbir terakhir
2. Second Opinion : minimum followed one last takbir


Sebagian ulama lain mengatakan bahwa bila makmum masih mendapatkan satu takbir terakhir sebelum imam mengucapkan salam, maka dia mendapatkan shalat berjamaah.
Some of other moslem scholars tells that if(when makmum still getting one last takbir before imam says greeting, hence s(he gets shalat hour(clock.


Yang berpedapat seperti ini antara lain adalah ulama kalangan Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah serta riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad bin Hanbal beserta para murid beliau. (lihat kitab Hasyiatu Ibnu Abidin jilid 2 halaman 59, kitab Al-Majmu` jilid 4 halaman 151 serta kitab Al-Inshaf jilid 2 halaman 221).
Which berpedapat like this for example is circle moslem scholar Al-Hanafiyah and As-Syafi`iyah and celebrated history from Imam Ahmad bin Hanbal along with the his pupils. ( sees book Hasyiatu Ibnu Abidin volume 2 yard 59, book Al-Majmu` volume 4 yard 151 and book Al-Inshaf volume 2 yard 221).


Adapun dalil yang mereka kemukakan antara lain adalah hadits-hadits berikut ini :
As for theorem which they tell inter alia is hadits-hadits following :


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Bila kalian menjalankan shalat janganlah mendatanginya dengan berlari, tapi berjalan saja. Kalian harus melakukannya dengan sakinah (tenang), apa yang bisa kamu dapat lakukanlah dan apa yang tertinggal sempurnakanlah.`(HR. Muslim).(note7)
From Ash Hurairah radhiyallahu ‘ anhu says that Nabi shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda,`Bila all of you implements shalat doesn't visit it by running, but runs only. All of you must do it with sakinah ( peace), what which you able to can do and lag what sempurnakanlah`(HR. Muslim)(note7)


Dari hadits ini bisa dikatakan bahwa siapa yang ikut shalat jamaah pada saat imam sedang sujud atau duduk tasyahhud akhir, disebutkan telah mendapatkan shalat berjamaah, tinggal dia menggenapkan apa-apa yang tertinggal. Karena itulah bila dia masih mendapatkan satu kali takbir imam yang terakhir sebelum salam, yaitu takbir ketika bangun dari sujud terakhir sebelum tasyahhud akhir, maka dia dikatakan sudah ikut shalat jamaah.
From this hadits can be told that who follows shalat jamaah at the time of medium imam of sujud or sits tasyahhud end, mentioned has got shalat hour(clock, remains s(he is even is lag something. Because that is if(when s(he still getting once takbir last imam before greeting, that is takbir when similar from last sujud before tasyahhud end, hence s(he is told has followed shalat jamaah.


E. Hukum Shalat Berjamaah
E. Law Shalat Berjamaah


Di kalangan ulama berkembang banyak pendapat tentang hukum shalat berjamaah. Ada yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat berjamaah berdosa. Ada yang mengatakan fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah kewajiban orang lain untuk harus shalat berjamaah. Ada yang mengatakan bahwa shalat jamaah hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah muakkadah.
Among moslem scholar grows many opinions about law shalat hour(clock. Something tells fardhu ` ain, so that man that is is not followed shalat hour(clock to sin. Something tells fardhu kifayah so that after having there are shalat jamaah, be killed obligation of others for having to shalat hour(clock. Something tells that shalat jamaah its(the law fardhu kifayah. And also there is telling its(the law sunnah muakkadah.


Berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil masing-masing.
Following we elaborate each the opinion along with each theorem.


1. Pendapat Pertama : Fardhu Kifayah
1. First Opinion : Fardhu Kifayah


Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
What tells this thing is Al-Imam Asy-Syafi`i and Abu Hanifah as mentioned by Ibnu Habirah in book Al-Ifshah volume 1 yard 142. And so it is with jumhur ( majority) good moslem scholar ago ( mutaqaddimin) and also the next ( mutaakhkhirin). Including also opinion most moslem scholar from sect circle Al-Hanafiyah and Al-Malikiyah.


Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada disitu. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Told as fardhu kifayah its(the intention is something after having implements it, hence other obligation fall to do. On the contrary, if(when there is no one also implementing shalat jamaah, hence sining every person who is there are disitu. That thing is because shalat jamaah is part of syiar Islam.


Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An-Nawawi disebutkan bahwa :
In book Raudhatut-Thalibin masterpiece Imam An-Nawawi it is mentioned that :


Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat. Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Shalat jamaah that is its(the law fardhu ` ain for shalat Friday. While for shalat other fardhu, there are some opinion. Which very shahih its(the law is fardhu kifayah, but also something tells its(the law sunnah and other thing tells its(the law fardhu ` ain.


Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah :
As for theorem they are when having a notion as in upper is :


Dari Abi Darda` radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya". (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
From Abi Darda` radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah 3 man who live in a kampong or pelosok but do not make shalat jamaah, except syetan has mastered them. So it will all of you hour(clock, because srigala eats sheep getting out of its(the folk". ( HR ABU DAUD 547 and Nasai 2/106 with sanad which hasan)


Dari Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,`Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan adzan dan yang paling tua menjadi imam.(HR. Muslim 292 - 674)
From Malik bin Al-Huwairits that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam,`Kembalilah all of you to family all of you and remains together they, teachs them shalat and commands them to do it. If(when time shalat arrived, hence so it will one of the all of you bounces adzan and oldest become imam(HR. Moslem 292 - 674)


Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim 650,249)
From Ibnu Umar radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda,`Shalat the hour(clock more mainly from shalat alone with 27 degrees. ( HR. Moslem 650,249)


Al-Khatthabi berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini.(note8)
Al-Khatthabi says that most moslem scholar As-Syafi`i tells that shalat the hour(clock its(the law fardhu kifayah is not fardhu ` ain with based on hadits ini(note8)


2. Pendapat Kedua : Fardhu `Ain
2. Second Opinion : Fardhu ` Ain


Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar Adzan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat. (note9)
Is having a notion that way is Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Ash Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, generally moslem scholar Al-Hanafiyah and sect Hanabilah. Atho` says that obligation that is must be done and ill gotten besides, that is when someone hears Adzan, s(he shall visit it for shalat. ( note9)


Dalilnya adalah hadits berikut :
Its(the theorem is hadits following :


Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata,`Siapa yang mendengar adzan tapi tidak menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya.(note10)
From Aisah radhiyallahu ‘ anhu berkata,`Siapa hearing adzan but doesn't answer it ( with shalat), hence s(he doesn't wish kindness and kindness menginginkannya(note10 doesn't)


Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap sah.
Thereby if(when a moslem leaves shalat jamaah without infirm, s(he prays but its(the shalat remain to validity.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR. Bukhari dan Muslim).(note11)
From Ash Hurairah radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda,`Sungguh I have desire to command shalat and build, then I command one to become imam. Then go with me with a few people to bring a cluster of firewood towards to a clan that is is not attend shalat and I am their houses burning with fires". ( HR. Bukhari and Muslim)(note11)


3. Pendapat Ketiga : Sunnah Muakkadah
3. Third Opinion : Sunnah Muakkadah


Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani(note12). Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat sahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
This opinion supported by sect Al-Hanafiyah and Al-Malikiyah as mentioned by imam As-Syaukani(note12). He(she says that opinion that is most middle in law problem shalat hour(clock is sunnah muakkadah. While opinion telling that its(the law fardhu ` ain, fardhu kifayah or condition of its(the validity shalat, of course cannot be received.


Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib.(note13)
Al-Karkhi from moslem scholar Al-Hanafiyah says that shalat the hour(clock its(the law sunnah, but is not disunnahkan not to follow it except because infirm. In this case understanding of sect circle Al-Hanafiyah about sunnah muakkadah equal compulsorily for others. Mean, sunnah muakkadah equal to wajib(note13)


Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Al-Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah.(note14)
Khalil, a moslem scholar from sect circle Al-Malikiyah in its(the book Al-Mukhtashar tells that shalat fardhu hour(clock besides shalat Friday its(the law sunnah muakkadah(note14)


Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah(note15). Ad-Dardir berkata bahwa shalat fardhu dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah.(note16)
Ibnul Juzzi says that shalat fardhu done in the hour(clock its(the law fardhu sunnah muakkadah(note15). Ad-Dardir says that shalat fardhu with hour(clock with imam and besides Friday, its(the law sunnah muakkadah(note16)


Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil berikut ini :
Theorem which they apply for opinion they are for example is theorems following :


Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim)(note17)
From Ibnu Umar radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam bersabda,`Shalat the hour(clock more mainly from shalat alone with 27 degrees. ( HR. Muslim)(note17)


Ash-Shan`ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Ash-Shan`ani in its(the book Subulus-Salam volume 2 yard 40 mentioning after mentioning above hadits that this hadits is theorem that shalat fardhu the hour(clock its(the law not mandatory.


Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini :
Besides they also applies hadits following :


Dari Abi Musa radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda,`Sesungguhnya orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur.(note18)
From Abi Musa radhiyallahu ‘ anhu says that Rasulullah SAw its(the bersabda,`Sesungguh man who is getting biggest deserts is furthest man run. Man who bes awaiting shalat jamaah with bigger imam of its(the reward from man who shalat alone then tidur(note18)


4. Pendapat Keempat : Syarat Sahnya Shalat
4. Fourth Opinion : Condition of Its(The validity Shalat


Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah adalah syarat sahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak sah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Fourth opinion is opinion telling that condition law fardhu hour(clock is condition of its(the validity shalat. So for they, shalat illegal fardhu if not is done with hour(clock.


Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah dalam salah satu pendapatnya(note19). Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah(note20). Termasuk diantaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.
Is having a notion like this for example is Ibnu Taymiyah in one of pendapatnya(note19). And So It Is With Ibnul Qayyim, his pupil. Also Ibnu Aqil and Ibnu Abi Musa and sect Zhahiriyah(note20). Including between it is the experts hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Ash Al-Barakat from circle Al-Hanabilah and Ibnu Khuzaemah.


Dalil yang mereka gunakan adalah :
Theorem which they apply is :


Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAw bersaba,`Siapa yang mendengar adzan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.(HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)(note21)
From Ibnu Abbas radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah SAw bersaba,`Siapa hearing adzan but doesn't visit it, hence no more of shalat for his(its, except because there are uzur(HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny, Ibnu Hibban and Al-Hakim)(note21)


Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR. Bukhari dan Muslim)(note22)
From Abi Hurairah radhiyallahu ‘ anhu that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam its(the bersabda,"Sesungguh shalat which is heaviest made hypocrite is shalat Isya and Shubuh. If only they know will which they earn from both shalat, surely they will visit it is even by crawling. It is really I had desire to command shalat and build, then I command one to become imam. Then go with me with a few people to bring a cluster of firewood towards to a clan that is is not attend shalat and I am their houses burning with fires". ( HR. Bukhari and Muslim)(note22)


Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata,"Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya,`Apakah kamu dengar adzan shalat?`. `Ya`, jawabnya. `Datangilah`, kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Muslim)
From Abi Hurairah radhiyallahu ‘ anhu says that Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam visited by a blind men and berkata,"Ya Rasulullah, nobody who is leading me to mosque. Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam says to give priority for his(its. When has elapsed, Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam calls him and bertanya,`Apakah you hear adzan shalat?`. ` Yes`, its(the reply. ` Datangilah`, said Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wasallam. ( HR. Moslem)


Kesimpulan :
Conclusion :


Setiap orang bebas untuk memilih pendapat manakah yang akan dipilihnya. Dan bila kami harus memilih, kami cenderung untuk memilih pendapat menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah, karena jauh lebih mudah bagi kebanyakan umat Islam serta didukung juga dengan dalil yang kuat. Meskipun demikian, kami tetap menganjurkan umat Islam untuk selalu memelihara shalat berjamaah, karena keutamaannya yang disepakati semua ulama.?
Each and everyone free to choose which opinion which will be selected it. And if(when we must choose, we tend to chooses opinion to mention that shalat the hour(clock its(the law sunnah muakkadah, because far easier for most Islam believer and is supported also with strong theorem. Nevertheless, we remain to suggests Islam believer for always looks after shalat hour(clock, because its(the main agreed on all moslem scholars.?


1. Kitab al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 650
1. Book al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 650


2. Fathul Bari jilid 2 halaman 133
2. Fathul Bari volume 2 yard 133


3. Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan
3. David Ash 547 and Nasai 2/106 with sanad which hasan


4. (HR. Ibnu Majah 793, Ad-Daruquthuni 1/420, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/245 dan sanadnya shahih).
44. (. HR. Ibnu Majah 793, Ad-Daruquthuni 1/420, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/245 and its(the sanad shahih).


5. Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya
5. Bukhari 644,657,2420,7224. Moslem 651 and lafaz this hadits from his(its


6. Sunan Ibnu Majah 1/202, Sunan An-Nasai 3/112, Sunan Ibnu Khuzaemah 3/173, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/291 menshahihkan hadits ini hadits ini dari tiga jalannya.
6. Sunan Ibnu Majah 1/202, Sunan An-Nasai 3/112, Sunan Ibnu Khuzaemah 3/173, Al-Hakim in Al-Mustadrak 1/291 menshahihkan hadits is this hadits out of three the way.


7. Shahih Muslim jilid 1 halaman 420
7. Shahih Muslim volume 1 yard 420


8. Kitab Ma`alimus-Sunan jilid 1 halaman 160
8. Book Ma`alimus-sunan volume 1 yard 160


9. Lihat Mukhtashar Al-Fatawa Al-MAshriyah halaman 50
9. Sees Mukhtashar Al-Fatawa Al-MAshriyah yard 50


10. Al-Muqni` 1/193
10. Al-muqni` 1/193


11. Shahih Bukhari 644, 657, 2420, 7224; Shahih Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya
11. Shahih Bukhari 644, 657, 2420, 7224; Shahih Muslim 651 and lafaz this hadits from his(its


12. Nailul Authar jilid 3 halaman 146
12. Nailul Authar volume 3 yard 146


13. Kitab Bada`ius-Shanai` karya Al-Kisani jilid 1 halaman 76
13. Book Bada`ius-shanai` masterpiece Al-kisani volume 1 yard 76


14. Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
14. Sees Jawahirul Iklil volume 1 halama 76.


15. Lihat Qawanin Al-Ahkam As-Syar`iyah halaman 83
15. Sees Qawanin Al-Ahkam As-Syar`iyah yard 83


16. Kitab Asy-Syarhu As-Shaghir jilid 1 halaman 244
16. Book Asy-Syarhu As-shaghir volume 1 yard 244


17. Shahih Muslim 650, 249
17. Shahih Muslim 650, 249


18. Lihat Fathul Bari jilid 2 halaman 278
18. Sees Fathul Bari volume 2 yard 278


19. Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333
19. Majmu` Fatawa volume 23 pages 333


20. Al-Muhalla jilid 4 halaman 265
20. Al-muhalla volume 4 yard 265


21. Sunan Ibnu Majah 793, Sunan Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan Al-Hakim 1/245
21. Sunan Ibnu Majah 793, Sunan Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 and Al-hakim 1/245


22. Shahih Bukhari 644, 657, 2420, 7224 Shaih Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya
22. Shahih Bukhari 644, 657, 2420, 7224 Shaih Muslim 651 and lafaz this hadits from his(its

Sunday, April 12, 2009

Wudhu`

Wudhu`

Wudhu' adalah sebuah ibadah ritual untuk mensucikan diri dari hadats kecil dengan menggunakan media air. Yaitu dengan cara membasuh atau mengusap beberapa bagian anggota tubuh menggunakan air sambil berniat di dalam hati dan dilakukan sebagai sebuah ritual khas atau peribadatan.
Bukan sekedar bertujuan untuk membersihkan secara pisik atas kotoran, melainkan sebuah pola ibadah yang telah ditetapkan tata aturannya lewat wahyu dari langit dari Allah SWT.
I. Hukum Wudhu
Wudhu` itu hukumnya bisa wajib dan bisa sunnah, tergantung konteks untuk apa kita berwudhu`.
1. Hukumnya Fardhu / Wajib
Hukum wudhu` menjadi fardhu atau wajib manakala seseorang akan melakukan hal-hal berikut ini :
a. Melakukan Shalat
Baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Termasuk juga di dalamnya sujud tilawah. Dalilnya adalah ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki... (QS. Al-Maidah : 6)
Juga hadits Rasulullah SAW berikut ini :
Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda,"Tidak ada shalat kecuali dengan wudhu'. Dan tidak ada wudhu' bagi yang tidak menyebut nama Allah. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Shalat kalian tidak akan diterima tanpa kesucian (berwudhu`) (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Untuk Menyentuh Mushaf Al-Quran Al-Kariem
Meskipun tulisan ayat Al-Quran Al-Kariem itu hanya ditulis di atas kertas biasa atau di dinding atau ditulis di pada uang kertas. Ini merupakan pendapat jumhur ulama yang didasarkan kepada ayat Al-Quran Al-Kariem.
Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS. Al-Waqi`ah : 79)
Serta hadits Rasulullah SAW berikut ini :
Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm tertulis : Janganlah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci”.(HR. Malik).
c. Tawaf di Seputar Ka`bah
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum berwudhu` untuk tawaf di ka`bah adalah fardhu. Kecuali Al-Hanafiyah. Hal itu didasari oleh hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Tawaf di Ka`bah itu adalah shalat, kecuali Allah telah membolehkannya untuk berbicara saat tawaf. Siapa yang mau bicara saat tawaf, maka bicaralah yang baik-baik.(HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Tirmizy)

2. Hukumnya Sunnah
Sedangkan yang bersifat sunnah adalah bila akan mengerjakan hal-hal berikut ini :
a. Mengulangi wudhu` untuk tiap shalat
Hal itu didasarkan atas hadits Rasulullah SAW yang menyunnahkan setiap akan shalat untuk memperbaharui wudhu` meskipun belum batal wudhu`nya. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Seandainya tidak memberatkan ummatku, pastilah aku akan perintahkan untuk berwudhu pada tiap mau shalat. Dan wudhu itu dengan bersiwak. (HR. Ahmad dengan isnad yang shahih)
Selain itu disunnah bagi tiap muslim untuk selalu tampil dalam keadaan berwudhu` pada setiap kondisinya, bila memungkinkan. Ini bukan keharusan melainkah sunnah yang baik untuk diamalkan.
Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Tidaklah menjaga wudhu` kecuali orang yang beriman`. (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, Ahmad dan Al-Baihaqi)
b. Menyentuh Kitab-kitab Syar`iyah
Seperti kitab tafsir, hadits, aqidah, fiqih dan lainnya. Namun bila di dalamnya lebih dominan ayat Al-Quran Al-Kariem, maka hukumnya menjadi wajib.
c. Ketika Akan Tidur
Disunnahkan untuk berwuhu ketika akan tidur, sehingga seorang muslim tidur dalam keadaan suci. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Dari Al-Barra` bin Azib bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Bila kamu naik ranjang untuk tidur, maka berwudhu`lah sebagaimana kamu berwudhu` untuk shalat. Dan tidurlah dengan posisi di atas sisi kananmu . (HR. Bukhari dan Tirmizy).
d. Sebelum Mandi Janabah
Sebelum mandi janabat disunnahkan untuk berwudhu` terlebih dahulu. Demikian juga disunnahkan berwudhu` bila seorang yang dalam keaaan junub mau makan, minum, tidur atau mengulangi berjimak lagi. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila dalam keadaan junub dan ingin makan atau tidur, beliau berwudhu` terlebih dahulu. (HR. Ahmad dan Muslim)
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila ingin tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu` terlebih dahulu seperti wudhu` untuk shalat. (HR. Jamaah)
Dan dasar tentang sunnahnya berwuhdu bagi suami istri yang ingin mengulangi hubungan seksual adalah hadits berikut ini :
Dari Abi Said al-Khudhri bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Bila kamu berhubungan seksual dengan istrimu dan ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah berwuhdu terlebih dahulu.(HR. Jamaah kecuali Bukhari)
e. Ketika Marah
Untuk meredakan marah, ada dalil perintah dari Rasulullah SAW untuk meredakannya dengan membasuh muka dan berwudhu`.
Bila kamu marah, hendaklah kamu berwudhu`. (HR. Ahmad dalam musnadnya)
f. Ketika Membaca Al-Quran
Hukum berwudhu ketika membaca Al-Quran Al-Kariem adalah sunnah, bukan wajib. Berbeda dengan menyentuh mushaf menurut jumhur. Demikian juga hukumnya sunnah bila akan membaca hadits Rasulullah SAW serta membaca kitab-kitab syariah.
Diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika mengimla`kan pelajaran hadits kepada murid-muridnya, beliau selalu berwudhu` terlebih dahulu sebagai takzim kepada hadits Rasulullah SAW.
g. Ketika Melantunkan Azan, Iqamat Khutbah dan Ziarah Ke Makam Nabi SAW
* * *
II. Wudhu’ Rasulullah SAW
Dari Humran bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhu meminta seember air, kemudian beliau mencuci kedua tapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur, memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya. Kemudian beliau membasuh wajarnya tiga kali, membasuh tanggan kanannya hingga siku tiga kali, kemudian membasuh tanggan kirinya hingga siku tiga kali, kemudian beliau mengusap kepalanya, kemudian beliau membasuh kaki kanannya hingga mata kaki tiga kali, begitu juga yang kiri. Kemudian beliau berkata,”Aku telah melihat Rasulullah SAW berwudhu seperti wudhuku ini. (HR. Bukhari dan Muslim)

III. Rukun Wudhu`
Para ulama berbeda pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang menyebutkan 4 saja sebagaimana yang tercantum dalam ayat Quran, namun ada juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari Sunnah.
• Mazhab Hanafi
Menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada 4 sebagaimana yang disebutkan dalam nash Quran
• Mazhab Maliki
Menurut Al-Malikiyah rukun wudhu’ itu ada delapan. Yaitu dengan menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu`. Sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu` dengan air masih belum bermakna mencuci atau membasuh. Juga beliau menambahkan kewajiban muwalat.
• Mazhab Syafi’i
Menurut As-Syafi`iyah rukun wudhu itu ada enam perkara. Mazhab ini menambahi keempat hal dalam ayat Al-Quran dengan niat dan tertib yaitu kewajiban untuk melakukannya pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib
• Mazhab Hambali
Menurut mazhab Al-Hanabilah jumlah rukun wudhu ada tujuh perkara, yaitu dengan menambahkan niat, tertib dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas wudhu`.
Rukun Hanafi Maliki Syafi`i Hanbali
1. Niat x rukun rukun rukun
2. Membasuh wajah rukun rukun rukun rukun
3. Membasuh tangan rukun rukun rukun rukun
4. Mengusap kepala rukun rukun rukun rukun
5. Membasuh kaki rukun rukun rukun rukun
6. Tertib x X rukun rukun
7. Muwalat x rukun x rukun
8. Ad-dalk x rukun x x
Jumlah 4 8 6 7
1. Niat
Niat wudhu' adalah ketetapan di dalam hati seseorang untuk melakukan serangkaian ritual yang bernama wudhu' sesuai dengan apa yang ajarkan oleh Rasulullah SAW dengan maksud ibadah. Sehingga niat ini membedakan antara seorang yang sedang memperagakan wudhu' dengan orang yang sedang melakukan wudhu'.
Kalau sekedar memperagakan, tidak ada niat untuk melakukannya sebagai ritual ibadah. Sebaliknya, ketika seorang berwudhu', dia harus memastikan di dalam hatinya bahwa yang sedang dilakukannya ini adalah ritual ibadah berdasar petunjuk nabi SAW untuk tujuan tertentu.
2. Membasuh Wajah
Para ulama menetapkan bahwa batasan wajah seseorang itu adalah tempat tumbuhnya rambut (manabit asy-sya'ri) hingga ke dagu dan dari batas telinga kanan hingga batas telinga kiri.
3. Membasuh kedua tangan hingga siku
Secara jelas disebutkan tentang keharusan membasuh tangan hingga ke siku. Dan para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa siku harus ikut dibasahi. Sebab kata (???) dalam ayat itu adalah lintihail ghayah. Selain itu karena yang disebut dengan tangan adalah termasuk juga sikunya.
Selain itu juga diwajibkan untuk membahasi sela-sela jari dan juga apa yang ada di balik kuku jari. Para ulama juga mengharuskan untuk menghapus kotoran yang ada di kuku bila dikhawatirkan akan menghalangi sampainya air.
Jumhur ulama juga mewajibkan untuk menggerak-gerakkan cincin bila seorang memakai cincin ketika berwudhu, agar air bisa sampai ke sela-sela cincin dan jari. Namun Al-Malikiyah tidak mengharuskan hal itu.
4. Mengusap Kepala
Yang dimaksud dengan mengusap adalah meraba atau menjalankan tangan ke bagian yang diusap dengan membasahi tangan sebelumnya dengan air. Sedangkan yang disebut kepala adalah mulai dari batas tumbuhnya rambut di bagian depan (dahi) ke arah belakang hingga ke bagian belakang kepala.
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang wajib untuk diusap tidak semua bagian kepala, melainkan sekadar sebagian kepala. Yaitu mulai ubun-ubun dan di atas telinga.
Sedangkan Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa yang diwajib diusap pada bagian kepala adalah seluruh bagian kepala. Bahkan Al-Hanabilah mewajibkan untuk membasuh juga kedua telinga baik belakang maupun depannya. Sebab menurut mereka kedua telinga itu bagian dari kepala juga.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah : Dua telinga itu bagian dari kepala. Namun yang wajib hanya sekali saja, tidak tiga kali.
Adapun Asy-syafi`iyyah mengatakan bahwa yang wajib diusap dengan air hanyalah sebagian dari kepala, meskipun hanya satu rambut saja. Dalil yang digunakan beliau adalah hadits Al-Mughirah : Bahwa Rasulullah SAW ketika berwudhu` mengusap ubun-ubunnya dan imamahnya (sorban yang melingkari kepala).
5. Mencuci kaki hingga mata kaki.
Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan hingga mata kaki adalah membasahi mata kakinya itu juga. Sebagaimana dalam masalah membahasi siku tangan.
Secara khusus Rasulullah SAW mengatakan tentang orang yang tidak membasahi kedua mata kakinya dengan sebutan celaka. Celakalah kedua mata kaki dari neraka.
6. Tartib
Yang dimaksud dengan tartib adalah mensucikan anggota wudhu secara berurutan mulai dari yang awal hingga yang akhir. Maka membasahi anggota wudhu secara acak akan menyalawi aturan wudhu. Urutannya adaalh sebagaimana yang disebutan dalam nash Quran, yaitu wajah, tangan, kepala dan kaki.
Namun Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah tidak merupakan bagian dari fardhu wudhu`, melainkan hanya sunnah muakkadah. Akan halnya urutan yang disebutan di dalam Al-Quran, bagi mereka tidaklah mengisyaratkan kewajiban urut-urutan. Sebab kata penghubunganya bukan tsumma (???) yang bermakna : ‘kemudian’ atau ‘setelah itu’.
Selain itu ada dalil dari Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan :
Aku tidak peduli dari mana aku mulai. (HR. Ad-Daruquthuny)
Juga dari Ibnu Abbas :
Tidak mengapa memulai dengan dua kaki sebelum kedua tangan. (HR. Ad-Daruquthuny)
Namun As-Syafi`i dan Al-hanabilah bersikeras mengatakan bahwa tertib urutan anggota yang dibasuh merupakan bagian dari fardhu dalamwudhu`. Sebab demikianlah selalu datangnya perintah dan contoh praktek wudhu`nya Rasulullah SAW. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau berwudhu` dengan terbalik-balik urutannya. Dan membasuh anggota dengan cara sekaligus semua dibasahi tidak dianggap syah.
7. Al-Muwalat (Tidak Terputus)
Maksudnya adalah tidak adanya jeda yang lama ketika berpindah dari membasuh satu anggota wudhu` ke anggota wudhu` yang lainnya. Ukurannya menurut para ulama adalah selama belum sampai mengering air wudhu`nya itu.
Kasus ini bisa terjadi manakala seseorang berwudhu lalu ternyata setelah selesai wudhu`nya, barulah dia tersadar masih ada bagian yang belum sepenuhnya basah oleh air wudhu. Maka menurut yang mewajibkan al-muwalat ini, tidak syah bila hanya membasuh bagian yang belum sempat terbasahkan. Sebaliknya, bagi yang tidak mewajibkannya, hal itu bisa saja terjadi.
8. Ad-Dalk
Yang dimaksud dengan ad-dalk adalah mengosokkan tangan ke atas anggota wudhu setelah dibasahi dengan air dan sebelum sempat kering. Hal ini tidak menjadi kewajiban menurut jumhur ulama, namun khusus Al-Malikiyah mewajibkannya.
Sebab sekedar menguyurkan air ke atas anggota tubuh tidak bisa dikatakan membasuh seperti yang dimaksud dalam Al-Quran.

III. Sunnah-sunnah Wudhu`
1. Mencuci kedua tangan hingga pergelangan tangan sebelum mencelupkan tangan ke dalam wadah air.
2. Membaca basmalah sebelum berwudhu`
3. Berkumur dan memasukkan air ke hidung Bersiwak atau membersihkan gigi
4. Meresapkan air ke jenggot yang tebal dan jari
5. Membasuh tiga kali tiga kali
6. Membasahi seluruh kepala dengan air
7. Membasuh dua telinga luar dan dalam dengan air yang baru
8. Mendahulukan anggota yang kanan dari yang kiri

IV. Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu'
Hal-hal yang bisa membatalkan wudhu' ada 5 perkara.
1. Keluarnya benda apapun lewat dua lubang qubul atau dubur.
Baik berupa benda cair seperti air kencing, mani, wadi, mazi atau apapun yang cair. Juga berupa benda padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau lainny. apun juga benda gas seperti kentut. Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur, membuat wudhu' yang bersangkutan menjadi batal.
2. Tidur yang bukan dalam posisi tamakkun (tetap) di atas bumi.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW
Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu' (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri, tidak termasuk yang membatalkan wudhu' sebagaimana hadits berikut :
Dari Anas ra berkata bahwa para shahabat Rasulullah SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu' (HR. Muslim) - Abu Daud menambahkan : Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah SAW.
3. Hilang Akal Karena Mabuk Atau Sakit
Seorang yang minum khamar dan hilang akalnya karena mabuk, maka wudhu' nya batal. Demikian juga orang yang sempat pingsan tidak sadarkan diri, juga batal wudhu'nya. Demikian juga orang yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan, dimana kesadarannya sempat hilang beberapa waktu, wudhu'nya batal. Kalau mau shalat harus mengulangi wudhu'nya.
4. Menyentuh Kemaluan
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad dan At-Tirmizy)
Para ulama kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri atau pun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik kemaluan manusia yang masih hidup atau pun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu.
Namun para ulama mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan, dimana hal itu tidak membatalkan wudhu'.
5. Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram (mazhab As-Syafi'iyah)
Di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu'. Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama. Sebagian mereka tidak memandang demikian.
Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa : 23)
a. Pendapat Yang Membatalkan
Sebagian ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima` (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wuhu`.
Ulama kalangan As-Syafi`iyah cenderung mengartikan kata ‘menyntuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu`.
Menurut mereka, bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi`i nampaknya tidak menerima hadits Ma`bad bin Nabatah dalam masalah mencium.
Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi`iyah, maka kita juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya, sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu`nya adalah yang sengaja menyentuh, sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh, maka tidak batal wudhu`nya.
Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian mereka, bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu`.
b. Pendapat Yang Tidak Membatalkan
Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah, sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti pisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu`. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah), maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu`.
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu` lagi.
Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah ra dari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu`”. Lalu ditanya kepada Aisyah,”Siapakah istri yang dimaksud kecuali anda ?”. Lalu Aisyah tertawa.( HR. Turmuzi Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad). ?




diambil dari
FIQIH ISLAM (Kitab Thaharah) Oleh H. Ahmad Sarwat, Lc